Sadar atau tidak sadar kita sebetulnya sudah menjalankan sebuah
proses yang mendalam kegiatan berfilsafat. Namun memang ada yang membedakan
diantara prosesnya itu. Ada orang-orang yang benar-benar mendalam filsafat
hingga ke dalam berbagai ilmu. Sesuai dengan jargon yang mengatakan bahwa
filsafat adalah induk dari segala ilmu. Tak bisa dipungkiri bahwa filsafat bisa
membawa seseorang pada puncak yang lebih stabil, artinya seseorang mampu
memahami apapun yang ada di depan mata dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
dalam dirinya. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak belajar filsafat
secara khusus? Jawabnya adalah bahwa tidak ada manusia yang tidak berfilsafat.
Semua aspek yang dilakukan manusia tidak bisa lepas dari aktivitas filsafat.
Sesuai dengan makna kata filsafat itu sendiri bahwa filsafat adalah cinta
kebijaksanaan. Ini artinya bahwa menuju kebijaksanaan tersebut memiliki proses
yang harus dipikirkan oleh manusia untuk mencapainya. Akal sebagai alat primer
dari diri manusia sekaligus pembeda dari semua makhluk yang ada, selalu
mengajak manusia untuk melakukan proses pencarian jawaban terhadap apa yang
dipertanyakannya. Maka dari itu, siapapun kita, pada kenyataannya mengalami
sebuah proses berfilsafat. Memang dalam ranah yang signifikan jelas membedakan.
Tapi bukan berarti seseorang menolak dirinya berfilsafat atau bahkan membenci
filsafat itu sendiri. Misalnya saja, ketika seseorang menyelesaikan masalah
yang dihadapainya, mau tidak mau ia harus menghadapinya. Proses menghadapi
inilah yang nantinya menimbulkan banyak pertanyaan; mengapa ini bisa terjadi?
Siapa yang mampu membantu menyelesaikan masalah ini? dan hingga nanti berujung
pada tingkat yang diinginkan yakni kebijaksanaan menghadapai masalah itu.
Itulah sebabnya mengapa manusia berfilsafat.
Sebetulnya ini tidak bisa menjadi sebuah pertanyaan jika kita
menanyakan sebuah alasan karena mengingat bahwa filsafat memang sudah
benar-benar sebagai fitrah manusia. Filsafat itu adalah proses berpikir.
Manusia sebagai makhluk yang berpikir sudah jelas akan mengaktualisasikan apa
yang ia miliki. Bahkan itu sudah menjadi sesuatu yang otomatis dalam diri
manusia. Hanya saja yang membedakan adalah ketika seseorang membatasi filsafat
itu dalam dirinya. Ketika kita mendengar orang-orang yang tidak suka filsafat,
atau menganggap filsafat sebagai ajang menuju kesesatan berpikir. Sehingga pada
lapangan banyak ditemukan mereka-mereka yang belajar filsafat itu mengarah pada
hal yang negatif. Paradigma inilah yang semestinya diluruskan dalam diri kita;
lingkungan dan negara bahwa dengan berpegang pada sistematis filsafat maka
mampu membimbing manusia menuju arah yang lebih baik. Filsafat seperti apa?
Filsafat yang memang didasari dengan berbagai teori mendasar yang mampu
membimbing secara bertahap menuju kebaikan itu sendiri.
A.
Alasan
Manusia Berfilsafat
Manusia sebagia makhluk berakal sudah menjalani proses aktualisasi
akal secara sadar atau tidak. Karenas sejatinya manusia berfikir adalah sebuah
fitrah. Artinya, sebuah kejelasan yang pasti dilakukan manusia berpikir. Dalam
pembahasan kali ini, mengarah pada pertanyaan apa alasan manusia berfilsafat?
Sebetulnya bukanlah sebuah pertanyaan yang bisa dijawab dengan mudah. Mengapa
kami katakan seperti itu? Karena alasan manusia berfilsafat kembali pada
individu masing-masing. Tapi bukan berarti kita mengatakan bahwa tidak ada
jawaban yang umum (universal). Memang ada, hanya saja pembahasan yang ditujukan
hanya pada akal dan fitrah manusia. Oleh sebab itulah, dalam pembahasan kali
ini, kami hanya membahas pada pokok
pembahasan universal yang mengarah pada alasan umum manusia berfilsafat.
Fitrah Manusia Sebagai Makhluk Berpikir
Manusia
sebagai makhluk yang dibedakan dari makhluk lainnya memiliki satu keunggulan
yang berlebih, yakni akal. Dengan akal sebuah kebenaran bisa dicapai melalui
proses yang dilakukan manusia itu sendiri. contohnya; ketika manusia
mempertanyakan keberadaan dirinya. Hal semacam ini sudah menjadi kodrati
manusia, hal semacam ini pula pernah ternyata pada seorang nabi yang telah kita
ketahui yakni Ibrahim A.S. Yang memeprtanyakan keberadaan Tuhan melalu objek
yang diamatinya. Oleh sebab itulah, pada kenyataannya manusia akan
mempertanyakan setiap apa yang ada di depan matanya secara tiba-tiba. Aka
tetapi jika ia sudah begitu memahami yang satu ini, maka ia akan mencoba
mencari sesuatu yang lain lagi. Dalam filsafat kegiatan manusia adalah bertanya
dan bepikir. Mempertanyakan setiap yang ia hadapi, yang kemudian akan selalu
muncul pertanyaan-pertanyaan baru hingga mengantarkan dirinya pada sikap
kebijaksanaan itu. Ini dikarenakan proses yang ia lalui. Lalu menemukan jawaban
apa yang semestinya ia lakukan, bukan dengan memaksakan diri pada proses yang
memberatkan dirinya.
Sekali
lagi, sebelum kita membahas lebih jauh mengenai filsafat itu, kami ingin
mengatakan bahwa alasan-alasan filsafat ini bisa saja mendapatkan jawaban
berbeda yang dimiliki oleh setiap individu. Hanya tergantung dari mana ia
mengambil sudut pandangnya. Namun dalam kesempatan ini pula, kami memiliki
beberapa alasan mendasar yang mengarah pada alasan manusia berfilsafat.
Kali
ini kita akan melihat sudut pandangan filsafat dari asal filsafat itu sendiri.
Dalam kehidupan manusia, ada faktor-faktor yang mendorong manusia untuk berfilsafat
yakni sebagai berikut:
1.
Keheranan
Salah
satu sifat manusia yang satu ini adalah sebuah fitrah artinya memang sudah
menjadi dorongan tersendiri ketika seseorang menemukan sesuatu yang baru.
Banyak filosof-filosof mengawali dirinya dengan menunjukkan rasa keherananya
pada sesuatu yang baru. Dalam bahasa yunani Thaumasia sebagai asal
filsafat. Juga dalam perkataan plato “ mari kita memberi pengamatan
bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk
menyelidiki. Dari penyelidikan ini berasal filsafat.”
Dari
pernyataan Plato, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa rasa heran ini mampu
mengantar manusia pada proses berfilsafat. Wajar saja kalau sesuatu hal yang
baru kita ketahui menjadi sebuah pertanyaan besar bagi seseorang.
2.
Kesangsian/keraguan
Ada
beberapa filosof yang ragu atas sesuatu yang dia hadapi, seperti Augustinus
(254-430 M) dan Rene Descrates (1595-1650 M) menunjukkan bahwa kesangsian
adalah sebagi sumber utama pemikiran. Dengan adanya keraguan ini, maka membuat
seseorang mempertanyakan kembali setiap yang ia hadapi. Awal sikap ini
ditunjukkan dengan keheranan lalu kemudian muncul keraguan. Seolah pertanyaan
akan muncul “apakah ini suatu kebenaran? Karena mungkin seseorang akan
beranggapan bahwa ia sedang ditipu oleh panca indranya. Lalu muncul lagi pertanyaan,
hingga mencapai keyakinan yang ia anggap benar. Oleh sebab itulah dunia ini
penuh dengan berbagai pendapat, keyakinan, dan interprestasi.
3.
Kesadaran
Akan Keterbatasan
Manusia sering
kali kali akan mulai merenungkan segala sesuatunya jika ia berada pada titik
yang sudah membatasi dirinya. Kadang asumsi muncul dalam benaknay seseorang
akan kehidupan yang dijalaninya. Ia menyadari bahwa dirinya begitu kecil
dibandingkan dengan alam sekelilingnya. Manusia akan merasa dirinya sangat
terbatas dan terikta oleh ruang dan waktu. Hingga dengan kesadaran akan
keterbatasan inilah ia akan memulai melakukan kontemplasi terhadap yang ia
hadapi. Hingga nanti pada akhirnya ia akan mempertanyakan di luar manusia yang
terbatas pasti ada yang tidak terbatas.
Kesimpulan
Akal sebagai
sebuah alat primer yang dimiliki manusia, yang menuntun manusia untuk selalu
berpikir terhadap sesuatu yang ditemukan, dirasakan, dan yang benar-benar
menjadi sebuah pertanyaan bagi diri seseorang. Berfilsafat bukanlah sebuah
kegiatan yang hanya ditujukan pada kaum tertentu, tapi berfilsafat adalah
sebuah kegiatan yang jelas akan dilakukan oleh setiap manusia.
Daftar Pustaka
Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Bumi Aksara: Jakarta:
2005
Kamaluddin, Undang Ahmad, Filsafat Manusia: Sebuah Perbandingan
Antara Islam dan Barat, Pustaka Setia: Bandung: 2012 SUMBER KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar