Kamis, 03 Desember 2015

Mengapa Manusia Berfilsafat?

Sadar atau tidak sadar kita sebetulnya sudah menjalankan sebuah proses yang mendalam kegiatan berfilsafat. Namun memang ada yang membedakan diantara prosesnya itu. Ada orang-orang yang benar-benar mendalam filsafat hingga ke dalam berbagai ilmu. Sesuai dengan jargon yang mengatakan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu. Tak bisa dipungkiri bahwa filsafat bisa membawa seseorang pada puncak yang lebih stabil, artinya seseorang mampu memahami apapun yang ada di depan mata dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak belajar filsafat secara khusus? Jawabnya adalah bahwa tidak ada manusia yang tidak berfilsafat. Semua aspek yang dilakukan manusia tidak bisa lepas dari aktivitas filsafat. Sesuai dengan makna kata filsafat itu sendiri bahwa filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Ini artinya bahwa menuju kebijaksanaan tersebut memiliki proses yang harus dipikirkan oleh manusia untuk mencapainya. Akal sebagai alat primer dari diri manusia sekaligus pembeda dari semua makhluk yang ada, selalu mengajak manusia untuk melakukan proses pencarian jawaban terhadap apa yang dipertanyakannya. Maka dari itu, siapapun kita, pada kenyataannya mengalami sebuah proses berfilsafat. Memang dalam ranah yang signifikan jelas membedakan. Tapi bukan berarti seseorang menolak dirinya berfilsafat atau bahkan membenci filsafat itu sendiri. Misalnya saja, ketika seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapainya, mau tidak mau ia harus menghadapinya. Proses menghadapi inilah yang nantinya menimbulkan banyak pertanyaan; mengapa ini bisa terjadi? Siapa yang mampu membantu menyelesaikan masalah ini? dan hingga nanti berujung pada tingkat yang diinginkan yakni kebijaksanaan menghadapai masalah itu. Itulah sebabnya mengapa manusia berfilsafat.
Sebetulnya ini tidak bisa menjadi sebuah pertanyaan jika kita menanyakan sebuah alasan karena mengingat bahwa filsafat memang sudah benar-benar sebagai fitrah manusia. Filsafat itu adalah proses berpikir. Manusia sebagai makhluk yang berpikir sudah jelas akan mengaktualisasikan apa yang ia miliki. Bahkan itu sudah menjadi sesuatu yang otomatis dalam diri manusia. Hanya saja yang membedakan adalah ketika seseorang membatasi filsafat itu dalam dirinya. Ketika kita mendengar orang-orang yang tidak suka filsafat, atau menganggap filsafat sebagai ajang menuju kesesatan berpikir. Sehingga pada lapangan banyak ditemukan mereka-mereka yang belajar filsafat itu mengarah pada hal yang negatif. Paradigma inilah yang semestinya diluruskan dalam diri kita; lingkungan dan negara bahwa dengan berpegang pada sistematis filsafat maka mampu membimbing manusia menuju arah yang lebih baik. Filsafat seperti apa? Filsafat yang memang didasari dengan berbagai teori mendasar yang mampu membimbing secara bertahap menuju kebaikan itu sendiri.

A.    Alasan Manusia Berfilsafat
Manusia sebagia makhluk berakal sudah menjalani proses aktualisasi akal secara sadar atau tidak. Karenas sejatinya manusia berfikir adalah sebuah fitrah. Artinya, sebuah kejelasan yang pasti dilakukan manusia berpikir. Dalam pembahasan kali ini, mengarah pada pertanyaan apa alasan manusia berfilsafat? Sebetulnya bukanlah sebuah pertanyaan yang bisa dijawab dengan mudah. Mengapa kami katakan seperti itu? Karena alasan manusia berfilsafat kembali pada individu masing-masing. Tapi bukan berarti kita mengatakan bahwa tidak ada jawaban yang umum (universal). Memang ada, hanya saja pembahasan yang ditujukan hanya pada akal dan fitrah manusia. Oleh sebab itulah, dalam pembahasan kali ini, kami hanya membahas  pada pokok pembahasan universal yang mengarah pada alasan umum manusia berfilsafat.
Fitrah Manusia Sebagai Makhluk Berpikir
Manusia sebagai makhluk yang dibedakan dari makhluk lainnya memiliki satu keunggulan yang berlebih, yakni akal. Dengan akal sebuah kebenaran bisa dicapai melalui proses yang dilakukan manusia itu sendiri. contohnya; ketika manusia mempertanyakan keberadaan dirinya. Hal semacam ini sudah menjadi kodrati manusia, hal semacam ini pula pernah ternyata pada seorang nabi yang telah kita ketahui yakni Ibrahim A.S. Yang memeprtanyakan keberadaan Tuhan melalu objek yang diamatinya. Oleh sebab itulah, pada kenyataannya manusia akan mempertanyakan setiap apa yang ada di depan matanya secara tiba-tiba. Aka tetapi jika ia sudah begitu memahami yang satu ini, maka ia akan mencoba mencari sesuatu yang lain lagi. Dalam filsafat kegiatan manusia adalah bertanya dan bepikir. Mempertanyakan setiap yang ia hadapi, yang kemudian akan selalu muncul pertanyaan-pertanyaan baru hingga mengantarkan dirinya pada sikap kebijaksanaan itu. Ini dikarenakan proses yang ia lalui. Lalu menemukan jawaban apa yang semestinya ia lakukan, bukan dengan memaksakan diri pada proses yang memberatkan dirinya.
Sekali lagi, sebelum kita membahas lebih jauh mengenai filsafat itu, kami ingin mengatakan bahwa alasan-alasan filsafat ini bisa saja mendapatkan jawaban berbeda yang dimiliki oleh setiap individu. Hanya tergantung dari mana ia mengambil sudut pandangnya. Namun dalam kesempatan ini pula, kami memiliki beberapa alasan mendasar yang mengarah pada alasan manusia berfilsafat.
Kali ini kita akan melihat sudut pandangan filsafat dari asal filsafat itu sendiri. Dalam kehidupan manusia, ada faktor-faktor yang mendorong manusia untuk berfilsafat yakni sebagai berikut:
1.      Keheranan
Salah satu sifat manusia yang satu ini adalah sebuah fitrah artinya memang sudah menjadi dorongan tersendiri ketika seseorang menemukan sesuatu yang baru. Banyak filosof-filosof mengawali dirinya dengan menunjukkan rasa keherananya pada sesuatu yang baru. Dalam bahasa yunani Thaumasia sebagai asal filsafat. Juga dalam perkataan plato “ mari kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dari penyelidikan ini berasal filsafat.”
Dari pernyataan Plato, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa rasa heran ini mampu mengantar manusia pada proses berfilsafat. Wajar saja kalau sesuatu hal yang baru kita ketahui menjadi sebuah pertanyaan besar bagi seseorang.
2.      Kesangsian/keraguan
Ada beberapa filosof yang ragu atas sesuatu yang dia hadapi, seperti Augustinus (254-430 M) dan Rene Descrates (1595-1650 M) menunjukkan bahwa kesangsian adalah sebagi sumber utama pemikiran. Dengan adanya keraguan ini, maka membuat seseorang mempertanyakan kembali setiap yang ia hadapi. Awal sikap ini ditunjukkan dengan keheranan lalu kemudian muncul keraguan. Seolah pertanyaan akan muncul “apakah ini suatu kebenaran? Karena mungkin seseorang akan beranggapan bahwa ia sedang ditipu oleh panca indranya. Lalu muncul lagi pertanyaan, hingga mencapai keyakinan yang ia anggap benar. Oleh sebab itulah dunia ini penuh dengan berbagai pendapat, keyakinan, dan interprestasi.
3.      Kesadaran Akan Keterbatasan
Manusia sering kali kali akan mulai merenungkan segala sesuatunya jika ia berada pada titik yang sudah membatasi dirinya. Kadang asumsi muncul dalam benaknay seseorang akan kehidupan yang dijalaninya. Ia menyadari bahwa dirinya begitu kecil dibandingkan dengan alam sekelilingnya. Manusia akan merasa dirinya sangat terbatas dan terikta oleh ruang dan waktu. Hingga dengan kesadaran akan keterbatasan inilah ia akan memulai melakukan kontemplasi terhadap yang ia hadapi. Hingga nanti pada akhirnya ia akan mempertanyakan di luar manusia yang terbatas pasti ada yang tidak terbatas.
Kesimpulan
            Akal sebagai sebuah alat primer yang dimiliki manusia, yang menuntun manusia untuk selalu berpikir terhadap sesuatu yang ditemukan, dirasakan, dan yang benar-benar menjadi sebuah pertanyaan bagi diri seseorang. Berfilsafat bukanlah sebuah kegiatan yang hanya ditujukan pada kaum tertentu, tapi berfilsafat adalah sebuah kegiatan yang jelas akan dilakukan oleh setiap manusia.
Daftar Pustaka
Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Bumi Aksara: Jakarta: 2005
Kamaluddin, Undang Ahmad, Filsafat Manusia: Sebuah Perbandingan Antara Islam dan Barat, Pustaka Setia: Bandung: 2012 SUMBER KLIK DISINI

Tidak ada komentar: