Perintis Pembawa Injil Di Wilayah Paniai, Misionaris Belanda, Pater Herman Tilemans, MSC adalah salah satu misionaris yang dengan gigih, tabah, dan berani datang ke Papua untuk melaksanakan mandat agung Yesus Kristus kepada para murid-murid-Nya untuk menyebarkan Injil ke seluruh bangsa.
Pater Tillemans bersama dengan Dr. W. J. Cator (pemimpin ekspedisi) masuk ke daerah Paniai. Rute perjalanan dari Uta melintasi sungai Urumuka sampai di pelabuhan Odaiya (Odaiya tei/ Eyagai Kigida) menuju Digi Tadi. Di tempat ini secara diam-diam dua orang yang sedang berburu melihat rombongan ekspedisi. Dua orang itu bernama: Bowaiyawi Badii (asal Makiyai - Wagomani) dan Yupeyawode Kotouki (asal Ugi Kebo - Obaiya). Rombongan ini bermalam di Digi Tadi pada tanggal 3 Oktober 1937. Sedangkan Bowaiyawi berlari-lari menuju ke Matadi untuk mengabarkan kedatangan orang asing di wilayah mereka, dan Yupeyawode pulang ke Obaiya.
Bowaiyawi menginformasikan penemuan orang asing kepada Diyemuma Badii. Kemudian Diyemuma mengumumkan berita itu kepada masyarakat yang berdomisili di Matadi. Rombongan ekspedisi melintasi sungai Yawei menuju Obaiya, dan melintasi gunung Utai Dimi dan bermalam di Dokeyauwo – Daiyapotiya di Matadi pada tanggal 4 Oktober 1937. Pada tanggal 5 Oktober 1937 rombongan ini tiba di Kinoumani (Matadi).
Di sini mereka bertemu dengan beberapa orang suku Mee yang sedang menanti kedatangan orang asing, yaitu: Tegaipouga Badii, Kaga Bedo Badii, Boaiyawi Badii (pembawa berita), Yaikawode Badii, Diyeiyawi Badii, Tetogouwiyai Badii, Etigawode Badii, Tekapeuwode Auwe, Takapawode Badii, Mitopawode Badii, Dugi Badii, dan Tabaidawi Badii.
Kedatangan rombongan ini disambut dengan ramah oleh masyarakat setempat dengan salaman dan memberikan makanan yang sudah disiapkan sebelumnya, antara lain: petatas (nota), pisang (kugou), tebu (eto), keladi (nomo). Warga setempat berpendapat bahwa para ekspedisi itu adalah penunggu air, karena kulit orang asing itu putih, ada pula yang berpendapat masih anak-anak kecil karena kulitnya putih seperti kulit bayi. Makanan yang diberikan warga, disantap tanpa ada keraguan satu pun. Rombongan ini memberikan bibit jagung dan boncis kepada warga setempat yang telah menerima kedatangan para ekspedisi ini.
Setelah makan makanan yang telah diberikan, rombongan ini melintasi gunung Makiyai didampingi beberapa orang warga. Sampai di Paawage, Pater Tillemans mengambil tanah liat dan mengisi di tasnya. Sesampai di Mudegamouda, Pater Tillemans memotong sebuah batu dan mengisi di tasnya. Dan sesampai di Idemakida, Tillemans mengambil lagi kulit kayu Aiyai. Kemudian rombongan ini tiba di Kopimanida (Makiyai), mereka melihat daerah Debei yang penuh dengan asap. Di tempat ini, mereka membersihkan rumput dan menebang pohon dengan tujuan hendak melihat keadaan Daerah Debei yang dihuni oleh masyarakat. Pater Tillemans mengambil sapuh tangan (handuk putih) dan melambai-lambai sebagai ungkapan kegembiraan karena rombongan ini telah menemukan perkampungan warga setempat, dan 4 orang setempat yang menemani rombongan ini juga turut serta mengungkapkan kegembiraan dengan tarian adat (yame ama duwata).
Rombongan ini tiba di Doutoudagi (Makiyai) dan bertemu dengan beberapa warga setempat, yaitu: Dugi Badii, Tabaidawi Badii, dan Mitopawode Badii. Di tengah-tengah mereka membaringkan seekor babi betina yang bernama ogeuga. Di antara rombongan ini menunjuk babi itu sambil mengatakan: “babi...babi...!”. Masyarakat setempat berpikir bahwa apa yang dikatakan itu “ibabi”, maka mereka mencari binatang “ibabi”, dan salah seorang memberikan kepada rombongan itu. Namun, ibabi itu tidak diterimanya dan salah satu dari rombongan ini menunjuk ke arah babi, lalu mereka mengetahui bahwa bukan ibabi, tetapi babi itulah yang dimaksudkan oleh rombongan itu.
Dugi Badii dan teman-temannya mengabarkan kedatangan orang asing kepada Kampung terdekat, yakni kampung Tadauto dengan mengatakan: “di sini kedatangan orang-orang asing, badannya besar, tetapi kulitnya putih seperti bayi, maka itu segera datang dengan membawa makanan”. Beberapa orang marga Bobii dari Kampung Tadauto datang menemui orang-orang asing itu. Sesampai di Makiyai, secara diam-diam mereka melihat orang asing itu, ternyata benar bahwa badannya besar, tetapi kulitnya putih seperti bayi. Lalu mereka kembali ke Kampung Tadauto untuk mengambil makanan. Dugi Badii dan teman-temannya sepakat untuk menyembelih babi, jika romobongan itu bermalam di Doutou Dagi (Makiyai).
Berita tentang kedatangan orang asing ini di dengar oleh masyarakat yang berdomisili di Wagomani dan beberapa orang (fam Waine) datang menemui rombongan itu, dan membawa mereka ke Bobauga Kotu untuk bermalam di situ; tetapi pater Tillemans meminta masyarakat setempat untuk dibawa ke Yomega Kotu. Sementara itu beberapa orang fam Bobii kembali lagi ke Makiyai dengan membawa makanan, ternyata para orang asing itu tidak ada di tempat; warga setempat memberitahu bahwa rombongan itu telah dibawa oleh beberapa orang fam Waine.
Rombongan ini tiba di Yomega Kotu (Wagomani) bersama dengan masyarakat setempat, dan membuat pondok darurat untuk bermalam pada tanggal 5 Oktober 1937. Rombongan ini mengambil sebuah mesin dan menghidupkannya, lalu memasukkan sebuah batu yang diambilnya di gunung Makiyai ke dalam mesin itu, kemudian batu itu diukir menjadi sebilah parang. Dengan parang itu memotong sebuah pohon (getimo).
Pada tanggal 6 Oktober 1937 masyarakat setempat (fam Waine), menyiapkan dua ekor babi (seekor babi putih) disiapkan oleh Dege Waine dan seekor babi hitam disiapkan oleh Buna Waine dan mengambil dedaunan Mai serta mengalaskannya dan meletakkan dua ekor babi di atas daun itu untuk menyambut para orang asing ini dengan sapaan “aye...aye...muku...muka....” Ketika itu juga datanglah dua orang, yang bernama: Taadiki (suku Moni) dan Digi Ego Iyai (suku Mee). Kedua orang itu membawa pergi para orang asing ke Kamuu melintasi gunung Atai Dimi, dan sampai di Itouda. Di situ masyarakat setempat menyiapkan seekor babi untuk disembeli. Pater Tillemans hanya memberkati babi itu, dan para rombongan itu melanjutkan perjalanan sampai di Bokai Butu dan bermalam di rumah Kiyeka Wiyai Douw. Keesokan harinya rombongan ini melanjutkan perjalanannya dengan membawa sebuah peti melintasi Kedegawe dan bermalam di Diyouda (Widimei).
Perintis Gereja Dan Sekolah Katholik Di Daerah Debei
Pada tahun 1949 Maiwiyai Pigome yang berdomisili di Dauwo Kebo (antara Tadauto dan Wiwoge) pergi ke Bagou untuk berbisnis. Di sana ia bertemu dengan Wadiyawode Mote dan seorang pemuda dengan ciri-ciri fisik: berbadan besar, tetapi bicaranya agak kaku. Maiwiyai secara diam-diam mempelajari karakter pemuda itu selama dua hari dua malam. Ternyata pemuda itu makanan kesukaannya adalah sayur hitam (digiyo) dan “yatu” sejenis makanan. Maiwiyai mengetahui karakhter pemuda itu, dan Maiwiyai berpikir bahwa di kebunnya di Digaidoba banyak sayur hitam dan “yatu”.
Dua hari kemudian, Maiwiyai kembali ke Kampungnya. Maiwiyai kembali lagi ke Bagou. Sesampai di Bagou, Maiwiyai bertemu lagi dengan pemuda itu di rumah Wadiyawode. Ternyata pemuda tampan itu kawin dengan putri bungsu dari Wadiyawode. Lalu Maiwiyai menyapa pemuda itu dengan ungkapan: “ Anii bakaa! (ipar).” Sapaan itu menjadi jembatan untuk membangun hubungan kerja sama yang erat dan kokoh antara Maiwiyai dan pemuda itu, yang kemudian hari ia mengetahui bahwa pemuda itu bernama Willem Okomongkop,dan berprofesi sebagai guru.
Pada suatu hari, Maiwiyai mengajak Willem pergi ke Kampung Dauwo Kebo di daerah Debei. Dalam perjalanan menuju ke Kampungnya Maiwiyai, Willem memandang daerah Debei yang terbentang dari Timur ke Barat yang diapit oleh dua buah gunung (Amuyai dan Kemuge) bagai kuali besar. Keduanya sampai di Dauwo Kebo dan pergi ke Digai Doba mengambil sayur hitam dan “yatu”. Selama dua hari – dua malam mereka barapen sayur hitam, yatu, petatas, dan keladi, dan lain-lain. Pada hari ketiga, Willem Okomongkop memberitahu Maiwiyai untuk mencari salah satu lokasi yang dipandang masyarakat “tempat keramat”. Maiwiyai pergi ke Wagomani untuk mencari tempat keramat, di sana ia bertemu Bidaugi Yokaibo Waine, Bidaougi Yokamoye Waine, Gakiwiyai Waine, Takagouwiyai Waine, dan Wiyai Waine. Mereka memberitahu tempat keramat (daa kotuu) yang ada di Wagomani dan mengijinkannya untuk membuka lokasi keramat itu.
Maiwiyai kembali ke Douwo Kebo bertemu dengan Willem Okomongkop dan memberitahu bahwa ia telah menemukan lokasi keramat “daa kotu” di Wagomani. Keesokan harinya keduanya mengambil kapak dan parang untuk merentes jalan menuju ke Wagomani dengan rute jalan: Dauwo puga - Onouwo puga – Toyougi -Dabe dagi puga - sampai di lokasi keramat (daa kotu) di Wagomani. Keduanya membersihkan rumput-rumput liar dan menebang pohon-pohon besar yang tumbuh di Daa Kotu selama beberapa bulan. Selama mempersiapkan lokasi itu, keduanya pulang pergi dari Dauwo Kebo melalui jalan yang direntesnya.
Pada suatu hari, Pelipus Pigome (mantan ketua Kring Demago - sewaktu masih kecil) ikut serta dengan Willem dan Maiwiyai Pigome. Ia (Pelipus) duduk santai menyaksikan pohon besar (obai) yang ditebang dan dipotong-potong oleh Willem Okomongkop. Pada saat itu, datanglah seorang laki-laki dewasa dengan ciri-ciri fisik: berbadan besar, tinggi, kulit putih dengan membawa busur dan anak panah.
Laki-laki itu berdiri menyaksikan pohon besar yang dipotong oleh Willem. Bapak Willem masuk ke dalam pondok, tak lama kemudian, ia keluar dari pondok itu dengan memakai sepatu duri berwarna hitam, selanjutnya Willem menuju ke arah laki-laki dewasa itu, dan menendang dengan sepatu, menginjak-injak, meninju, merabik-rabik nokennya, busur dan anak panahnya serta koteka yang dipakainya dipotong-potong dengan parang. Laki-laki yang bernama: Yakaiwiyai Yokanago Badii itu pingsan di tempat pada jam 12 siang. Saat itu, Bapak Willem mengatakan: “Akiki toutipe yamake?” (kamu ada di sini, tetapi kamu bagaimana?).
Melihat peristiwa itu, Pelipus Pigome merasa takut, jangan-jangan Pak Willem memukulnya. Pada jam 3 sore, Yakaiwiyai Yokanago Badii terbangun, berdiri dan pergi ke rumahnya dengan rasa sakit yang amat mendalam tanpa mengatakan sepata kata.
Willem didampingi oleh Maiwiyai membangun pondok berbentuk huruf “L” di lokasi yang disiapkannya. Setelah Willem membangun pondok berbentuk huruf L “idaa owaa”, keduanya memperluas lokosi itu dengan membersihkan rumput-rumput liar dan menebang pohon-pohon besar yang ada di sekitarnya. Setelah membuka lokasi, Willem bersama Maiwiyai menanam tanaman.
Pondok untuk memulai karyanya sudah selesai dibangun, dan kebun baru sudah dibuka dan ditanami berbagai macam tanaman, maka tibalah saatnya bagi Bapak Willem Okomongkop pergi ke Bagou untuk mengambil istri barunya yang bernama: (Motamadi) Mote Amadi pada akhir tahun 1949.
Willem bersama istrinya tinggal di pondok berbentuk L yang dibangunnya untuk memulai karya mulia yang diembannya. Pondok itu dibagi menjadi dua kamar, yaitu satu kamar berukuran kecil untuk tempat tidur dan kamar berukuran besar digunakan untuk mengawali karyanya, yaitu meletakkan dasar bagi tumbuhnya Gereja yang Mandiri dan mengajari anak-anak pada tahun 1950. Para orang tua mengajari cara berdoa dan para anak mengajari menghitung dengan menggunakan jubi yang dipotong pendek.
Di pondok itulah mempersiapkan bahan bangunan untuk membangun rumah dari bahan dasar kayu, dengan beratap kulit kayu (dauti) milik Bidaugi Yokaibo dan adik-adiknya. Saat mempersiapkan atap, mata kanan Maiwiyai rusak tertusuk kulit kayu dauti. Di lokasi itu dibangunlah tiga buah rumah, satu rumah papan untuk Bapak Willem dengan istrinya, satu rumah adat untuk Maiwiyai bersama anaknya Pelipus, dan satu rumah adat untuk Tokowiyai Yokaipouga.
Sedangkan warga yang berdomisili di Wagomani, membangun rumah di sekitar lokasi misi yang dirintis oleh Bapak Willem dan Bapak Maiwiyai. Pada tahun 1951 Willem bersama warga setempat membangun rumah satu atap, beratap dauti yang di dalamnya dibagi menjadi tiga ruang, masing-masing ruang kelas 1, ruang kelas 2 dan ruang kelas 3; dan rumah itu dipakai untuk mengajar dan melatih berdoa. Selama 7 tahun (1950 – 1957) penginjilan dipusatkan hanya untuk mengajar dan melatih cara berdoa.
Beberapa tahun kemudian, rumah sekolah sekaligus Gereja dipindahkan dan dibangun tiga ruang satu atap (dengan atap seng) di lokasi baru. Pada tahun 1955-1958 umat Katholik di wilayah Debei menghadapi banyak tantangan amat berat dari pihak luar.
Dalam suasana yang penuh dengan tantangan, di kalangan misi hadir seorang sosok “abdi Tuhan” yang setia, sabar, tegas dan tekun dalam melaksanakan amanat agung Yesus. Abdi Tuhan itu adalah Bapak Willem Okomongkop. Ia tidak membiarkan umat yang dipercayakan Allah kepadanya, tetapi ia selalu berada di tengah kecemasan dan kekhawatiran umat yang dikasihinya, ia selalu hadir dalam keadaan suka maupun duka. Ia tidak patah semangat dengan berbagai tantangan yang datang silih berganti, namun di tengah tantangan, semangat pewartaan dan pelayanannya membara bagai api dalam sekam. Dalam keterbatasan dan kesederhanaan, ia bersama Maiwiyai didampingi istri serta kedua anak putrinya yang lahir di Wagomani meletakkan dasar untuk membangun Gereja yang mandiri.
Sekitar 6 tahun kemudian, Bapak Willem bersama istri dan kedua anaknya (Siska dan Monika), serta Maiwiyai pindah ke Agamani di Piyake Dimi. Karya pewartaan dan pelayanan yang diembannya selama 7 tahun terpaksa ditinggalkannya. Ia pergi bukan karena patah semangat, tetapi hendak membuka tempat baru untuk menanamkan benih Injil dan pelayanan, khususnya dibidang pendidikan.
Untuk menggantikan Bapak Willem, datanglah seorang guru dari pesisir Pantai Papua, dan kawin dengan Martina Pigome; beberapa bulan kemudian ia bersama istrinya pindah tugas; dan diganti oleh dua tenaga guru merangkap katekis, bernama: Maya dan Hindom.
Tenaga guru dibantu oleh Yohanes Pigome dibidang pendidikan sebagai Penggerak Orang tua Murid dan Guru (POM G), Lukas Badii menangani dibidang kerohanian. Dan Bapak Damianus Pigome bertugas sebagai keamanan dibidang pendidikan. Bapak Stefanus Waine dipilih dan diangkat sebagai Ketua Kampung yang bertugas untuk mengurus pagar lingkungan, kebun, menyelenggarakan doa pemulihan dan menyelesaikan masalah yang terjadi di kalangan masyarakat. Yohanes Pigome, Lukas Badii dan Damianus Pigome adalah buah pertama dari Bapak Willem Okomongkop.
Pada tahun 1958 para misionaris mengantar buku Mee Manaa yang di dalamnya memuat berbagai macam berdoa dan katakese. Dengan adanya buku itu memotivasi umat untuk mulai mengadakan perayaan Ibadat pada hari Minggu. Pada saat itu para misionaris OFM mendatangkan David Ukago sebagai tenaga katakese merangkap guru di Kebodagi, kemudian digantikan oleh Eligius Giyai. Sedangkan Ruben Pekei ditugaskan para misionaris OFM untuk memberikan katakese merangkap guru kepada Warga Katholik di Wagomani, kemudian digantikan oleh Herman Youw, dan Paulus Mote. Mereka inilah yang menjadi tenaga guru menggantikan Maya dan Hindom, serta mempersiapkan para warga Katholik di Wagomani untuk menerima sakramen-sakramen.
Sekitar pada tahun 1958 beberapa warga Katholik Wagomani dibabtis dan komuni pertama di Gereja Okomokebo oleh Pater Kleopas Legro, OFM. Mereka yang dibabtis pertama di Okomokebo, antara lain: Yohanes Pigome, Martinus Pigome, Damianus Pigome, Mathias Waine, Hellena Badii, dan lain-lain.
Mereka yang telah dibabtis mengambil peran penting untuk mendekati dan mengajak para warga Kampung lain untuk dipersiapkan menerima babtisan. Mereka inilah yang membuat pondok panjang dengan atap alang-alang (widime) di Ugapuga, Moanemani, Diyai, dan Waghete untuk menampung umat Wagomani yang datang mengikuti perayaan Paskah dan Natal.
Babtisan periode kedua terjadi pada hari Rabu, bulan Januari tahun 1962 oleh Pater van de Bert, OFM di Gereja Diyai. Mereka yang menerima babtisan dan menerima komuni pertama, antara lain: Pelipus Pigome, Lukas Badii, Susana Waine, Hendrikus Pigome, Isayas Pigome, Martina Pigome, Veronika Waine A, Paulus Dawapa, Moses Pigai, Thedikio Dawapa, Agustinus Waine, Donatus Waine, Eusebius Bobii, Victor Bobii, dan lain-lain. Yang menjadi saksi babtis adalah Bapak Natalius Giyai, selaku Kepala Sekolah Dasar Katholik di Wagomani. Pada tahun 1962 Bapak Natalius membuka kelas IV di Wagomani. Sedangkan anak-anak yang naik kelas V dan IV dikirim ke Sekolah Dasar Katholik di Diyai. Kemudian pada tahun 1964 Bapak Natalius Giyai membuka kelas V dan tahun 1965 membuka kelas VI di Wagomani.
Pada tahun 1962 para warga Katholik Wagomani membentuk Dewan Gereja pertama, yang dipercayakan kepada Bapak Lukas Badii. Mereka yang telah menerima babtisan memiliki tugas untuk mempersiapkan warga Katholik yang belum menerima babtisan. Bapak Lukas Badii sebagai Ketua Dewan Gereja melaporkan nama-nama calon babtisan dan komuni pertama serta pernikahan kepada imam untuk memberikan babtisan, komuni dan pernikahan. Sejak tahun 1962 ke atas mulai mempersiapkan diri bagi pasangan yang hendak menerima sakramen pernikahan.
Pada awal tahun 1969 datanglah dua tenaga guru, yaitu: Mariono dan Marsidi. Beberapa bulan kemudian pecah perang antara Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka (OPM), akhirnya kedua tenaga guru ini pindah tugas. Di tengah suasana perang, datanglah seorang guru, bernama Mipitapo asal Pantai Papua. Akhir tahun 1969 perang antara Indonesia dan OPM berakhir.
Tahap Pemantapan Dan Pengembangan Misi Katholik Di Debei
Tahun 1970 adalah tahun terpenting bagi Gereja Katholik Wagomani. Setelah Bapak Eusebius Bobii kembali dari Modio, ia membuat pemetaan untuk membuka sayap yakni mendirikan Kring-Kring baru. Bapak Eusebius menanam patok pertama di Pepeya – Demago, kedua, menanam patok di Tadauto I; dan ketiga Kebodagi, dan potak keempat di Matadi I (Woo Matadi). Setelah melakukan patok (pemetaan), Eusebius mengumpulkan para warga Katholik untuk membentuk Badan Pengurus Gereja yang permanen. Dalam pertemuan itu memilih Eusebius sebagai Katekis pertama di pusat Stasi Wagomani dan Dewan Stasi dipercayakan kepada Lukas Badii, Sekretaris Umum Paulus Dawapa, dan sebagai bendahara Umum Victor Bobii; Donatus Waine dan Pelipus Pigome dipilih sebagai ketua Kring I dan II di Pepeya – Demago, Isayas Pigome dan Hendrikus Pigome sebagai ketua I dan II Kring di Tadauto I, Paulus Dawapa dan Moses Pigai sebagai Ketua Kring di Kebodagi, dan di Matadi I mendapat persetujuan untuk menempatkan Kring oleh Auweibo, dan di Matadi I tidak menempatkan tenaga karena kekurangan tenaga pewarta, tetapi pelayanan dilakukan secara bergilir dari pusat Stasi dan Kring.
Demi kemajuan karya pewartaan dan pelayanan di Stasi Wagomani, pembagian peran di antara badan pengurus Gereja menjadi jalan terbaik, maka sekerataris Stasi adalah ketua Kring Kebodagi, Ketua Kring Tadauto menangani katakese dengan berpedoman pada buku Mee Manaa, ketua Kring Demago sebagai penasehat, Dewan Stasi dan Katekis sebagai pengontrol dan pembina. Di masa itu, menurut Bapak Pelipus Pigome masing-masing peran dilaksanakan dengan baik oleh para ketua Kring, Katekis dan Dewan Stasi, maka kekompakan dalam pewartaan dan pelayanan berjalan dengan baik.
Para ketua Kring dan Katekis membagi peran untuk mempersiapkan para warga Katholik yang hendak menerima sakramen-sakramen. Nama-nama calon diberikan kepada Dewan Stasi untuk dilaporkan kepada Imam agar dijadwalkan untuk memberikan skaramen-sakramen dimaksud.
Pada mulanya, Kring Demago, Tadauto dan Kebodagi serta Matadi I membangun pondok (Idaa Owa) sebagai gedung Gereja untuk melakukan Ibadat dan pemberian katekese bagi yang menerima sakramen-sakramen. Sedangkan di pusat Stasi menggunakan Gedung Sekolah sebagai pusat ibadat dan katakese.
Pada tahun 1971 mengadakan pertemuan Dewan Stasi dan Katekis serta para ketua Kring. Dalam pertemuan itu membahas dan memutuskan untuk memisahkan antara gedung Gereja dan Sekolah yang sebelumnya gedung Sekolah digunakan juga sebagai gedung Gereja. Dalam pertemuan itu juga memutuskan hari Senin sebagai hari khusus untuk melakukan kegiatan-kegiatan Gereja dengan kata lain “hari khusus untuk Gereja”. Juga bersepakat untuk membuka kebun milik Gereja. Hasil pertemuan ini disambut baik oleh warga Katholik dan mulai mempersiapkan bahan-bahan bangunan gedung Gereja dan membuka kebun milik Gereja.
Dalam suasana persiapan untuk menata keluarga dan Gereja stasi Wagomani yang lebih baik, datanglah kabar dari Keuskupan Jayapura untuk menggelar Musyawarah Pastoral pada tahun 1972. Setiap Stasi di Keuskupan Jayapura hadir dalam MUSPAS dimaksud. Untuk stasi Wagomani, Bapak Eusebius Bobii ikut serta dalam MUSPAS pertama dengan Thema: “Berdiri di atas kaki sendiri”. Hasil MUSPAS dibawa pulang oleh semua peserta ke Paroki dan Stasi masing-masing. Hasil MUSPAS disampaikan oleh Katekis Stasi Wagomani (Eusebius Bobii) kepada warga umat. Hasil MUSPAS dikemas dalam 4 perumpamaan, yaitu:
Pertama, “sesuatu barang dikemas rapi dalam sebuah bungkusan”. Yang mengetahui isi dari bungkusan itu adalah orang yang membungkusnya. Itu artinya, manusia diciptakan oleh Allah. Hanya Allah saja yang mengetahui maksud penciptaan, hanya Allah saja mengetahui isi hati setiap ciptaan-Nya. Setiap manusia memiliki karunia yang diberikan dengan cuma-cuma oleh Allah, dan karunia itu adalah isi dari ciptaan-Nya. Setiap manusia harus menemukan karunia yang ada padanya, dan melakukan karunia itu. Setiap manusia diberikan karunia yang berbeda-beda. Dengan karunia itu, setiap manusia melayani Tuhan dan sesamanya. Perumpamaan ini dapat diartikan juga: bungkusan lapisan pertama adalah Paus, lapisan kedua adalah uskup, lapisan ketiga adalah imam, lapisan keempat adalah diakon, lapisan kelima katekis, lapisan keenam adalah ketua Kring, dan lapisan ketujuh adalah umat. Yang membungkus tujuh lapisan itu adalah Allah. Isi dari bungkusan itu adalah Firman Allah.
Kedua, dibuatlah seekor kuskus dari “Yuwa”. Kuskus itu dipanah berkali-kali, tetapi anak panah hanya kena dibulu-bulunya saja. Artinya manusia berusaha keras untuk memiliki firman Allah, tetapi firman itu hanya bertahan sebentar dalam hati manusia, hanya sebentar saja percaya, hanya sebentar saja aktif dalam Gereja, hanya sebentar saja bertobat, dan tidak melaksanakan tugas yang dipercayakan dengan penuh tanggung jawab. Sama halnya dengan para murid-Nya, walaupun banyak murid yang mengikuti Yesus, tetapi hanyalah 12 murid yang dipilih oleh Yesus. “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih”.
Ketiga, “beko, mamo, yuwa, utu”; jika diartikan: “beko” itu sebagai laki-laki, “mamo” itu istri, “yuwa” itu tanah atau “owaa daa”, “utu” sebagai anak-anaknya. Jika hal ini dihubungkan ke dalam agama, “beko” itu sebagai Yesus, “mamo” sebagai santa Maria, “yuwa” itu sebagai karunia, “utu” sebagai kebaikan, cinta kasih.
Keempat, “busur dan anak panah”; artinya tali busur itu simbol laki-laki, busur itu istri, di ujung-ujung busurnya dililit dengan tali agar tahan dan kuat; sama halnya dengan kedua mempelai disatukan dengan nikah kudus oleh Allah melalui simbol mengenakan cincin; anak panah itu simbol anak-anaknya. Anak panah memiliki beberapa jenis, yaitu: Taka, Pita, Tomo, Aweya, Tokopa. Anak panah memiliki beberapa karunia. Tali itu Allah-Yesus-Roh Kudus, busur itu tanah, anak panah itu manusia, setiap manusia memiliki karunia, maka manusia melakukan karunia di atas tanah yang Tuhan ciptakan. Tali sebagai pikiran, busur sebagai hati, anak panah sebagai karunia. Pita itu iyebeu (pemalas), tomo berfungsi untuk bunuh babi, taka fungsinya bunuh burung, tokopa itu bunuh burung, aweya fungsinya untuk bunuh kus-kus.
Inilah hasil MUSPAS yang dikemas dalam empat perumpamaan yang telah disampaikan kepada para ketua Kring dan Dewan Stasi serta warga umat di stasi Wagomani oleh kataki setempat. Empat perumpaan ini memotivasi para warga umat di Stasi Wagomani untuk mewujud-nyatakan dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat.
Dengan semangat MUSPAS yang dikemas dalam empat perumpaan di atas yang disampaikan oleh Eusebius Bobii sebagai Katekis pertama dari Debei, maka para warga Katholik bersama para pemimpin stasi dan kring mempersiapkan bahan bangunan untuk membangun gedung Gereja di pusat stasi. Untuk itu, mereka memikul kayu cina (mugu) sebagai tiang dari Matadi. Dan untuk membuat Papan, para warga Katholik menggunakan wayar (gergaji besar), lokasi pengambilan kayu (papan) di sebelah gunung Makiyai dan Mogako. Bahan bagunan, khusus untuk kayu (tiang dan papan) ditanggung oleh warga umat, sedangkan daun seng dan paku sebagian ditanggung oleh warga umat setempat dan yang lain diberikan oleh para misionaris. Dengan kerja keras, para umat membangun gedung Gereja di pusat Stasi pada tahun 1973. Selanjutnya setiap Kring membangun gedung Gereja baru dengan papan cincang dengan atap kulit kayu antara tahun 1973 - 1975.
Para warga Katholik yang mendapat babtisan di setiap Kring, mereka mengambil peran untuk melatih berdoa kepada warga umat lain, sedangkan para ketua kring mengambil peran untuk mempersiapkan warga umat yang hendak menerima sakramen-sakramen.
Umat Katholik di setiap Kring minoritas di Daerah Debei, sementara mayoritas adalah jemaat Kingmi. Karena itu, para ketua Kring dan Katekis serta Dewan Stasi bekerja keras untuk mempertahankan dan mengembangkan karya keselamatan melalui pewartaan dan pelayanan.
Karya kemandirian Gereja ditempuh melalui beberapa kegiatan, antara lain: membuat kebun milik Gereja, dan memelihara ternak. Dari hasil usaha warga umat, maka setiap Kring membangun gedung Gereja dengan papan cincang dan beratap seng pada tahun 1976.
Pada tahun 1979 ketua Kring Demago melanjutkan pendidikan di Sekolah Pendidikan Lanjutan (SPL), walaupun lanjut sekolah, ia tetap menjabat sebagai ketua Kring Demago. Pada tahun 1982 katakis, Eusebius Bobii juga melanjutkan pendidikan SPL, dan penggantinya adalah Emanuel Waine menjadi pewarta di Stasi Wagomani. Karena katekis Emanuel mengambil istri kedua, maka ia mengundurkan diri, dan digantikan oleh Dolpikus Badii yang saat itu menjadi pewarta di Kring Matadi I pada tahun 1984, dan menjadi Dewan Stasi adalah Hubertus Badii. Dua tahun kemudian, (1986), Willem Pigome dipercayakan sebagai pewarta menggantikan pewarta Dolpikus Badii. Pewarta ini pun mendapat kasus (kawin istri kedua), maka para tokoh gereja, adat, perempuan, dan pemerintah datang menemui Pelayan Umat Anton Tekege (alm) sebagai pastor paroki Diyai untuk memindahkan pewarta Matadi, Willem Pigome sebagai pewarta stasi Wagomani. Permintaan itu dikabulkan oleh penanggung jawab paroki Diyai.
Para tokoh Gereja, perempuan, adat, dan pemerintah, para guru datang ke Matadi mengambil pewarta Kring Matadi I untuk menggantikan pewarta stasi Wagomani. Malam penjemputan, diramaikan dengan lagu-lagu. Sejak tanggal 11 Pebruari 1991 pewarta Willem Pigome menjabat sebagai pewarta Stasi St. Yoseph Wagomani.
Program pertama setelah Willem pindah dari Matadi, adalah menggelar pertemuan dengan Badan Pengurus Stasi; dalam pertemuan itu memutuskan bahwa sepakat untuk membangun gedung Gereja stasi Wagomani. Selama dua tahun, 1991-1992 menyiapkan bahana bangunan dan dana. Pada tahun 1993 membangun gedung Gereja dari para tukang karya mulia dari kevikepan Enarotali.
Pada tahun 1994, setelah membangun gereja induk, ada perencanaan baru, yakni membangun Gereja Kring-Kring yang ada di Stasi Wagomani, termasuk merencanakan untuk membuka Kring baru di Matadi II (Miyo Matadi). Pada tahun 1995 ada program kegiatan paroki untuk memberikan Krisma, Pastor Paroki menetapkan dua wilayah, yaitu wilayah pusat paroki Diyai dan wilayah Debei stasi Wagomani.
Uskup Jayapura, Leo Labba Ladjar, OFM pernah datang di Stasi Wagomani untuk memberikan Krisma pada tahun ...?, peserta calon Krisma dari wilayah Debei sebanyak 96 orang. Dalam tahun itu, Badan Pengurus Gereja Stasi Wagomani membentuk DAPENWA (Dana Pendidikan Stasi Wagomani), program ini direncanakan bersama dengan pastor paroki Diyai, Marten Kuawo, Pr. Hasil dana Depenwa,ada beberapa guru agama.
Pada tahun 2000 Dewan Stasi, pewarta dan para ketua Kring bersama Pastor Paroki Diyai merencanakan menyiapkan bahan bangunan dan dana untuk membangun geduang Gereja di setiap Kring,tahap perama Kring Tadauto dan Demago. Pada akhir tahun 2001 sudah mulai membangun gedung Gereja di Kring Tadauto dan Demago oleh tukung Samuel Pekei. Pada tanggal 25 Desember 2001 meresmikan dua gedung Gereja itu oleh pater Kristiono, SJ sekaligus memberikan nama pelindung, St. Yohanes Pembabtis Demgo dan St. Maria Tadauto. Pada tahun 2002 merencanakan bersama Pastor Paroki, ibu Cristin Rahangiar untuk membangun gedung Gereja Kebodagi dan Matadi II serta rumah Tornei. Pada tahun 2003 gedung Gereja Katholik Matadi II dan Kebodagi serta rumah Tornei di pusat Stasi dibangun. Dan pada akhir tahun dua gedung Gereja diresmikan oleh pater Vikep Jhon Philip Saklil, Pr dengan memberikan nama pelindung, St. Paulus Kebodagi dan St. Fransiskus Saverius Asisi Matadi.
Tanggal 3 Desember 2003 peresmian gedung Gereja Matadi dan pada saat itu secara resmi Pater Vikep membuka SD YPPK Matadi II sebagai kenang-kenangan, dan tanggal 4 Desember 2003 peresmian gedung Gereja Kebodagi. Dalam perayaan peresmian gedung Gereja Kebodagi, ada sakramen babtis dan perkawaninan. Saat itu pater Vikep Jhon Plip Saklil Pr sebagai calon uskup keuskupan Timika.
Pada waktu kunjungan ke Matadi, pater Vikep Jhon Philip pernah bermimpi bahwa dirinya diangkat menjadi uskup. Delapan hari kemudian setelah pulang dari peresmian mimpinya menjadi kenyataan, pater Vikep Jhon Philip Saklil Pr mendapat kabar resmi dari kepausan bahwa ia diangkat sebagai uskup Keuskupan baru Timika.
Proses Pemekaran Paroki Baru Di Wilayah Debey
Pada hari Senin, 26 Desember 2011 pada jam 09.00 WPB bertempat di Emaa Owaa Stasi St. Yoseph Wagomani menggelar Musyawarah Kelompok dan Kombas campuran yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Kombas dan tokoh Agama, tokoh Perempuan, para kepala suku, kepala Kampung, pendidikan dan kesehatan serta unsur lain yang terkait untuk Penggalian Gagasan Pemekaran Paroki baru di wilayah Debei. Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Dewan Stasi dan Pewarta itu memutuskan bahwa: 1) Sepakat untuk membentuk kuasi/paroki baru di wilayah Debei; 2) Membentuk Panitia Persiapan Pemekaran Kuasi/Paroki Baru,dengan susunan Panitia: Ketua (Stefanus Bobii), Sekretaris (Frans Waine); 3) Sepakat untuk mengajukan proposal oleh Panitia.
Pada tanggal 1 Januari 2012 Panitia menyelengarakan pertemuan untuk membahas pengajuan proposal untuk pemekaran kuasi/paroki baru di wilayah Debei. Pada tahun 2012 pernah mengajukan proposal kepada Pastor dan Dewan Paroki, serta Dekan Paniai. Ide pemekaran Paroki baru di wilayah Debei tibul karena alas an jarak antara Debei dan pusat paroki amat jauh. Ide dimaksud disampaikan melalui tertulis dan lisan kepada pastor dan Dewan Paroki, Dekan Paniai serta Uskup Keuskupan Timika dalam berbagai kesempatan oleh Panitia, Pewarta dan Dewan Stasi serta umat. Dalam pembukaan MUSMEE yang diselenggarakan di Diyai, pada awal tahun 2014, harapan umat Katholik wilayah Debei untuk pemekaran paroki baru disampaikan kepada Pastor Paroki Diyai dan Dekan Paniai dalam demonstrasi.
Pastor dan Dewan Paroki, Dekan sekaligus wakil Uskup dan Uskup Keuskupan Timika menjawab kerinduan dan harapan umat untuk pemekaran paroki baru dijawab pada bulan September – Oktober 2015. Pada hari Sabtu, 10 Oktober 2015 Pastor Paroki dan Dewan Paroki induk bersama umat di Stasi St. Yoseph Wagomani membentuk Dewan Kuasi Paroki baru di wilayah Debei.
Hari Kamis, 22 Oktober 2015 bertempat di rumah Tornei, Dewan Kuasi Paroki baru menyusun Rencana Kerja (program) yang dibagi ke dalam, program jangka pendek, menengah dan panjang, antara lain: pengukuran lokasi baik di pusat kuasi, dan stasi-stasi baru, menyiapkan adminitrasi, khususnya mengumpulkan data umat, pagar lingkungan Gereja dan sekolah, meratakan tanah untuk membangun pastoran, memekarkan Kring menjadi stasi, dan memekarkan kombas-kombas baru, dan lain-lain.
Kuasi Paroki baru wilayah Debei memiliki 5 Stasi dan 11 kombas, yaitu stasi Wagomani 3 kombas, stasi Kebodagi 2 kombas, stasi Demago 2 kombas, stasi Tadauto 2 kombas, dan stasi Matadi II 2 kombas. Demikian sejarah singkat Misi Katholik masuk di Daerah Debei.
Daftar Pustaka/Sumber:
1. Buku
Frans
Bobii, “Herman Tillemans, Awee Pito” 2014
2.Wawancara
Adam
Badii pada tanggal 26 Oktober 2015 di Emaa Owaa Kuasi St. Yoseph Wagomanipada
jam 10.00 – 11.30 WPB,diwawancarai oleh Selpius Bobii.
Donatus
Pigome pada tanggal 26 Oktober 2015 di Emaa Owaa Kuasi St. Yoseph wagomanipada
jam 12.30 – 12.00 WPB, diwawancarai oleh Selpius Bobii.
Philipus
Pigome, pada tanggal 26 Oktober 2015 pada jam 12.00 – 17.00 WPB, dan tanggal 27
Oktober 2015 di rumah Tornei kuasi St. Yoseph Wagomani pada jam 09.00 – 16.30
WPB, diwawancarai oleh Selpius Bobii.
Dominikus
Badii, pada tanggal 31 Oktober 2015 di rumah Stefanus Bobii di Tadauto pada jam
12.00 – 13.00 WPB, diwawancarai oleh Selpius Bobii.
Stefanus
Bobii, pada tanggal 31 Oktober 2015 di rumah Stefanus Bobii di Tadauto pada jam
13.00 – 14.00 WPB, diwawancarai oleh Selpius Bobii.
***